Powered By Blogger

Kamis, 16 Juni 2011

Jawa

Assalamualaikum Wr.Wb

JAWA
image
pada suatu malam ketika saya tidak ada kerjaan saya berfikir untuk mencari apa arti sesungguhnya arti dari jawa dan bahasanya.kemudian saya berfikir untuk mencari di situs web google dan menemukan situs di wordpress.com yang menerangkan tentang jawa.
berikut ini ulasan arti tentang jawa yang saya temukan di dalam situs web wordpress.com:
Pulau Jawa. Jawa, pulau terpadat di Indonesia, berisi hal-hal menarik dan sumber ke-gumun-an: kopi, candi, keraton, gunung berapi, bahasa, Wayang, pernikahan yang rumit, sinkretisme agama, kekuasaan otoriter, tata krama, rokok kretek, sastra, gamelan, strata sosial, dan seterusnya. Budaya Jawa biasanya dicatat oleh orang-orang Barat (atau orientalis – karena mereka mempelajari Jawa sebagai bagian dari budaya Timur atau oriental), seperti Clifford Geertz [1], Denys Lombard [2], Christine Jordis [3], John Pamberton [4], dan lainnya.
Bahasa Jawa. Saya lumayan terkejut dengan fakta berikut: tahun 2004, data statistik mengatakan bahwa 90 juta orang Indonesia adalah orang Jawa. Ini berarti bahwa 40 persen orang Indonesia mengerti bahasa Jawa (batas bawah mengerti adalah pembicara pasif). Bahasa Jawa mempunyai tiga tingkatan (Ngoko, Ngoko Alus dan Kromo Inggil). Kategorisasi ini didasarkan pada tingkat umur dan strata sosial pembicara atau yang diajak bicara; tapi biasanya jika ada orang asing yang bertanya mengenai kategorisasi itu saya dengan malas hanya menjawab “Itu maksudnya basic, intermediate dan advanced“. Bahasa Jawa memakai alfabet Jawa dalam penulisan (turunan bahasa Sansekerta – mirip dengan bahasa Thai atau Hindi). Namun, generasi muda (saya misalnya) jarang sekali bisa mengerti tulisan Jawa.

Orang Jawa. Tidak semua pulau Jawa dihuni orang Jawa: orang Jawa awalnya bermukim di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta – Jawa Barat dan Jakarta awalnya dihuni oleh orang Sunda, Badui dan Betawi. Mungkin agak stereotip, tapi model orang Jawa umumnya adalah kalem, penuh tata krama, halus tutur kata, sawo matang, bermata kecil dan tidak terlalu tinggi (ya pendek lah!). Imtip Patajotti [5] dalam bukunya “Journey to Java by Siamese King” mencatat bahwa orang Jawa itu pandai tapi lamban. Tata krama Jawa, seperti ditulis Christine Jordis [3], dibentuk oleh sikap pendiam, senyum, kompromi, harmoni, bisa dipercaya, tidak terlalu munafik, tidak memaksakan pendapat, bercukur supaya rapi (untuk jaga penampilan) dan filsafat yang kompleks di balik sikap tenang.

Agama. Kejawen bisa dibilang agama budaya yang berakar pada animisme, Hinduisme atau Buddhisme. Orang Kejawen berdoa menggunakan bahasa Jawa kuno dan membakar dupa. Orang Kejawen kadang mencampur ritualnya dengan ritual Islam. Ini yang mungkin disebut sinkretisme agama. Sebagian orang Jawa ada yang memeluk Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu. Pengaruh Hindu dan Buddha dapat dilihat ketika menonton wayang Jawa, yang berisi epik India, misal: Mahabharata dan Ramayana. Diyakini bahwa cepatnya penyebaran Islam juga menggunakan wayang sebagai alat untuk mentransfer wahyu-wahyu. Kelompok musik gamelan biasanya mengiringi pertunjukan wayang itu. Wali Songo adalah sembilan wali yang menyebarkan Islam lewat asimilasi budaya dan tasawuf.
Ulasan di atas hanya arti dari jawa. untuk mengetahui arti dari bahasa jawa ikuti terus blog saya.
sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada: ari3f.wordpress.com yang telah memberikan saya sumber informasi tentang arti jawa sehingga saya bisa meng-copy dan menyebarkan ilmu tentang jawa ini lebih luas lagi.
Di suatau situs lain diulaskan pula :

Arti Jawa

image
Masih berbicara tentang jawa, berawal dari ketidak-tahuan saya tentang jawa ketika ditanya oleh teman-teman dari luar jawa mengenai “Jawa itu apa?” Ulasan saya tentang hal ini bukan bersifat dogmatis yang tidak terbantahkan, namun sangat terbuka untuk berbagai kritik dan koreksi bahkan jika ada pemaknaan lain juga tidak menutup kemungkinan. Agar bisa njawani, tidak perlu menjadi ahli, oleh-karena itu meskipun saya bukan ahli tentang jawa, saya memberanikan diri menulis tentang jawa.
Secara sederhana menjawab pertanyaan “Jawa itu apa?” dikaitkan dengan nama pulau, suku, bahasa, tulisan, budaya ataupun kerajaan. Sampai pada jawaban tersebut sudah dapat menjawab pertayaan, namun orang yang njawani tidak berhenti sampai dengan jawaban itu. Laku menjadi orang jawa (njawani) tidak sekedar mengetahui arti namun lebih jauh kedalam memahami makna yang meski tersamarkan, juga terkandung unsur internalisasi nilai yang diselaraskan dengan diri-semesta untuk terus dilakukan dan ditingkatkan kualitasnya . Nilai-nilai yang inheren dalam kata njawani adalah mengerti, refleksi, harmoni, proses yang progresif-simultan, universal. Laku menjadi orang jawa merupakan proses untuk mengerti berbagai realitas baik yang ada di alam pikiran manusia ataupun alam semesta. Upaya untuk mengerti itu sendiri diperoleh melalui refleksi dengan menggunakan prisma[1] keharmonian dan keselarasan dengan semesta juga universalitas. Sebagai contoh, peribahasa “ Jika tidak mau dicubit, janganlah mencubit” merupakan nilai yang bisa diterima dimana saja, dan kapan saja.  Nilai tersebut dibangun untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan dalam komunitas, ataupun antar komunitas bahkan semesta. Nilai yang diperoleh tersebut tidak bersifat statis atau mati tetapi senantiasa dilakukan, direfleksikan untuk dikoreksi (mawas diri) sampai didapati nilai yang lebih luhur, mulia, universal dan semakin baik tiada henti.
Tidak ada kata-kata yang benar-benar pas untuk mengartikan ataupun memaknai njawani. Secara sederhana laku menjadi orang jawa tidak cukup hanya dengan mempelajari bahasa, budaya tanpa melibatkan diri menjadi orang jawa. Laku menjadi orang jawa  secara fungsional dimaknai sebagai berguna bagi kesejahteraan hidup umat manusia juga semesta (migunani tumrap karaharjaning urip bebrayan )[2] . Sementara itu menurut Paulus Bambang Susetyo kata jawa secara esensial diartikan sebagai mengerti dengan tepat mengenai segala sesuatu perkara hidup dan kehidupan secara menyeluruh yang selaras dengan kehendak sang maha hidup . Dengan demikian laku menjadi orang jawa (njawani) bersifat inklusif, terbuka bagi siapa saja untuk mengerti dan menjalaninya, yang bahkan sudah banyak ditinggalkan oleh kebanyakan orang jawa itu sendiri. Ketidak-mauan serta ketidak-mampuan orang jawa untuk njawani diistilahkan sebagai “wong jawa ilang jawane ”.
Sumber : http://www.batukar.info/komunitas/blogs/njawani-laku-menjadi-orang-jawa

Personifikasi Jawa
Tidak semua fenomena dalam kehidupan terbuka secara blak-blakan, demikian pula orang jawa memahami berperilaku dalam budaya. Kata atau kalimat dalam bahasa jawa boleh saja diartikan secara langsung, namun mengartikan yang semacam demikian boleh-boleh saja tapi tak jarang justru dapat membawa pada ketersesatan pikir. Sebagai contoh kata waton yang barasal dari kata watu atau batu, menjadi waton atau bebatuan. Pemakaiannya dalam frase, waton amben yang berarti batu penyangga dipan. Dalam frase waton ngomong diartikan sebagai asal bicara, sedangan dalam kalimat ngomong nganggo waton berarti berbicara pakai dasar. Dalam kalimat anggonmu gondelan waton sing seret, wong saiki jamane wis jaman edan [3] jika diartikan langsung secara luwes menjadi berbeganglah yang kuat pada batu, sekarang sudah jaman edan. Kata waton dapat dimaknai lebih dari sekedar batu,asal, dasar tetapi dapat mencakup pada nilai-nilai kehidupan yang mendasar yang selaras juga kontekstual.
Dalam menggambarkan diri dalam kebudayaan, personifikasi jawa terkandung dalam tokoh Arjuna. Tidak tepat mengartikan Arjuna sebagai playboy , karena secara katuranggan dia perpawakan kurus dan lemah. Simbol dari maskulinitas atau playboy seharusnya melakat pada karakter Bima, kakak Arjuna, namun mengapa tidak  demikian? Dalam suatu kesempatan bertanya-jawab dengan Ki Sigit Sukasman, dia mengatakan “Jawa iki ora blak-blakan” atau jawa itu tidak vulgar . Daya tarik Arjuna dimata perempuan dan kebiasaan mengawininya merupakan simbolisasi daya tarik tanah jawa (nusantara) dimata para pendatang. Para pendatang dengan beragam latar belakang kebudayaan, agama, suku oleh orang jawa diterima dan ditempatkan layaknya istri agar tercapai keharmonisan hidup.
Lebih lanjut Ki Sigit Sukasman mengatakan bahwa orang Jawa tidak beringasan. Dalam karakter Arjuna selalu tampil lemah lembut dan tidak emosional meskipun dalam keadaan perang. Sebagai contoh dalam satu lakon  pewayangan Mahabarata digambarkan Arjuna yang berpapasan dengan Buta Cakil dalam peperangan. Cakil merupakan raksasa yang sangat gesit dengan rahang bagian bawah lebih maju daripada rahang atas dengan taring yang tajam, jika berbicara terdengar agak sengau, cepat dan berulang-ulang. Sementara itu ketika Arjuna menghadapi Cakil yang sedemikian beringas, tetap santun terlihat dari posisi tangganya yang santai atau kebawah, tidak dalam sikap menantang. Arjuna tidak akan langsung menjawab pertanyaan Cakil, namun menjawab pertanyaan dengan pertanyaan dan tetap masih santai. Hal ini juga yang menjadikan Cakil semakin geram dan ingin segera melabrak Arjuna.
Itulah arti dari jawa yang hanya bisa saya jelaskan. dan saya ucapkan terima kasih.
"Catatan: ulasan diatas bisa ditambah kapan saja."
Waalaikum salam Wr.Wb